Rencana-Mu

23 Januari, tepat pagi hari dengan embun yang menghiasi kaca kamarku yang langsung berhadapan dengan meja belajarku. Entah sudah berapa banyak kertas yang ku habiskan hingga berserakan. Entah sudah berapa banyak buku yang bergeletakan tak karuan. Kamarku semakin tak sedap dipandang. Sedangkan aku memilih untuk duduk dan menaruh kepala di atas meja sambil menatap kosong keluar jendela. Jiwaku entah terbang kemana apalagi ragaku yang masih diam tak terarah.

“Aku harus apa?” batinku bertanya.

Sudah 2 tahun lebih ku persiapkan untuk ujian masuk jurusan sastra yang ku inginkan. Sudah berapa banyak uang yang keluar untuk membeli beberapa buku bahkan pelatihan. Sudah berapa besar tenaga juga pikiran yang harus terus ku asah setiap harinya. Bahkan untuk sekadar tidur dan istirahat rasanya seperti membuang kesempatan. 

Setelah melihat hasil ujian yang diumumkan kemarin, ku dapati kertas hasil ujian dengan satu kata di akhir surat yang bertuliskan tebal berkapital, sangat jelas dengan tulisan “GAGAL”. Rasanya aku langsung membenci diriku sendiri saat itu. Bahkan hingga pagi, aku belum juga merasakan kantuk ataupun lapar. Sekadar untuk minum pun enggan padahal ku tahu diriku merasa sangat kehausan.

“Aku kurang apa? Semua sudah ku korbankan? Memang aku terlalu bodoh atau bagaimana?” batinku yang makin menekan rasa benci pada diri sendiri.

Hingga aku tersadar dan terbangun dalam renungan ku ketika tepukan pelan di pundakku semakin kencang.

“Gausah ngelamun terus. Gapapa kok gagal. Ayo belajar ikhlas. Kalau begini terus, kamu susah buat bangkit nantinya” ucap ibu sambil terus meyakinkan ku.

Apa yang ibu ucapkan hanya lalu lalang di telingaku tanpa enggan untuk dicerna oleh otak. Rasanya, saat ini aku tak perlu kata-kata penenang karena rasa benci pada diriku yang terlalu menguasai pikiran.

Pada akhirnya ibu menyerah dan memilih keluar dari kamar ketika aku tak sedikitpun bergeming. Rasaky terlalu kacau apalagi pikiranku yang sepertinya ada puting beliung di dalamnya. Bahkan air mataku mengalir tanpa permisi hingga membuat hidungku sulit untuk bernapas.

“Apa aku akhiri saja ya?” batinku yang ku tahu kemana arah akhir dari hidupku.

Tak terasa hari semakin panas hingga bisa kurasakan hangatnya menembus jendela. Tak lama kemudian adzan berkumandang, memanggilku untuk sadar. Hatiku menghangat saat mendengarnya, bahkan tak kusadari diri ini terlalu hanyut hingga menangis dengan mata terpejam. Aku merasa ingin mengadu kepada Allah atas kenyataan pahit yang ku hadapi saat ini.

Hingga aku bangkit dan memilih untuk menunaikan sholat, setelahnya ku curahkan segala hal yang menyesakkan hatiku.

“Ya Allah, engkau tahu seberapa besar hamba berusaha untuk mendapatkan ini semua. Seberapa keras hamba untuk memperjuangkan ini semua. Kenapa hasilnya seperti ini ya, Allah? Hamba kurang apa? Atau hamba terlalu bodoh ya Allah? Hamba tidak tahu ke depan nya harus bagaimana. Tolong ya Allah, dada hamba terlalu sesak menahan semuanya. Ikhlas yang seperti apa yang harus hamba lakukan? Tunjukan ya Allah”

Aku bahkan tak dapat menghitung berapa bulir air mata ku yang turun hingga membuat mukena yang kukenakan basah sebagian. Yang kuinginkan adalah petunjuk dan rasa tenang dari-Nya. Aku tak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa selain sang pencipta.

Selesai sudah sesi curhatku kepada Allah hingga akhirnya ku memutuskan untuk membersihkan kekacauan di kamarku. Merapihkan beberapa buku dan alat tulis serta mengumpulkan beberapa kertas yang berserakan. Hal ini kulakukan agar dapat mengubah suasana hatiku yang sedang kacau, aku harap dapat membantu sedikit lebih baik.

Tak perlu waktu lama untuk membersihkan, kini ku memilih membaringkan diri di atas kasur dengan tatapan yang sama kosong seperti pagi tadi. Aku mencoba untuk terus mengatur napasku dan emosi yang terus berkecamuk di dalam dada. Sisi diriku yang lain masih ingin membuat diriku lebih tenang dan tidak ingin menyakiti diri ini lebih jauh.

Ponselku berdering nyaring memenuhi seisi kamarku sebagai tanda ada seseorang yang meneleponku. Namira rupanya.

“Assalamu’alaikum, Tya.” salam Namira dengan napas yang memburu.

“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Namira?” balasku pelan.

“Tya, aku punya kabar baik untukmu” jelasnya kegirangan.

“Kabar baik apa?” tanyaku penasaran

“Umi Dina bilang kalau ada kuota untuk masuk jurusan sastra yang kamu mau, tetapi di tempat yang berbeda. Ya walaupun lumayan jauh dari sini tapi ini jadi kesempatan kamu untuk mencoba”

Penjelasan Namira langsung membuatku duduk dengan perasaan senang yang tidak karuan.

“Yang benar, Nam? Kamu gak bohong kan?” tanyaku memastikan.

“Aku gak bohong, kok. Kamu juga gak perlu tes karena seleksinya diambil dari hasil tes yang sebelumnya. Aku yakin kamu pasti lolos” Namira bahkan semakin semangat dalam menjelaskan semuanya.

Aku langsung menangis mendengarnya bahkan bibirku tak henti sama sekali untuk terus mengucapkan “Alhamdulillah ya Allah”.

“Tya, aku cuma mau kasih kabar itu ke kamu. Aku harus pamit karena masih urus pindahan adik ku. Nanti untuk persyaratan berkas yang lainnya, aku kirim lewat chat ya. Semangat, Tya. Aku yakin kamu pasti bisa!”

“Namira, terima kasih banyak ya” balasku sambil sesenggukan.

“Iya sama-sama. Maaf ya aku harus pamit. Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam”

Dengan cepat ku membaca chat yag baru masuk dari Namira. Membaca dengan seksama semua persyaratan tersebut dan memilih untuk menyiapkan semuanya.

Aku berlari keluar kamar dengan membawa tas yang berisi dokumen yang harus aku fotocopy. Dengan perlahan aku mengeluarkan motor dari bagasi. Ibu yang nampak kebingungan melihatku yang dari tadi sibuk menyiapkan diri, akhirnya bertanya

“Kak, kamu mau kemana? Kok buru-buru gitu?”

“Ibu, aku mau fotocopy beberapa dokumen dulu, nanti pulangnya aku langsung cerita deh ke ibu. Pamit, Bu. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Kak”

23 Maret tepat saatnya pengumuma hasil seleksi. Tubuhnya rasanya dingin seketika ketika gugup langsung hadir tanpa permisi. Aku berdiri di depan papan informasi yang ramai dikerubungi oleh orang-orang yang ingin melihat hasil seleksi.

Hari seleksi yang dipajang diurutkan berdasarkan skor tertinggi dari hasil tes sebelumnya. Dan betapa terkejutnya aku ketika namaku berada di posisi pertama. Aku langsung mengucap syukur dan menangis terharu.

Aku keluar dari keramaian itu dan berjalan sambil sibuk untuk menghubungi ibu. Hingga tubuhku tiba-tiba berada dalam pelukan seseorang yang ku kenal dengan baik.

“Tya! Selamat ya! Masya Allah, bangga banget aku sama kamu!”

iya, itu adalah Namira. Kini ia semakin memelukku erat dengan badan yang bergetar, yang aku yakin ia menangis sekarang. Aku membalas pelukannya dengan tak kalah erat sambil terus melafalkan kata terima kasih.

Kami saling mengendurkan pelukan dengan Namira yang sibuk menghapus air matanya. Namira menatapku dalam penuh bangga hingga kami saling tertawa bersama.

“Aku punya kabar gembira lagi buat kamu” kata Namira dengan rasa gembira.

“Apa?” tanyaku kebingungan.

“Karena kamu ada di peringkat pertama, pihak sekolah memberikan beasiswa full untuk kamu. Baik dari biaya asrama sampai bahaya kebutuhan hidup kamu. Jadi, aku harap kamu bisa lebih semangat setelah terima ini semua.” Jelas Namira langsung membuatku memeluknya lagi.

Hal ini membuatku jadi semakin merasa bersalah karena sebelumnya membenci diri dan terlalu larut dalam kesedihan tanpa berusaha untuk ikhlas.

Namun ketika aku meminta petunjuk dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Tanpa menunggu waktu lama, doaku terwujud lebih cepat dari kedipan mata. Hal ini membuatku teringat dengan perkataan ibu sebelum aku berangkat ke sini untuk melihat hasil pengumuman.

“Kak, percaya ya. Rencana yang kita buat kalau Allah gak terlibat di di dalamnya, semuanya sia-sia. Tapi ingat, Kadang rencana Allah lebih indah dari yang kita bayangkan”

Perkataan ibu menjadi kenyataan. Aku semakin malu dengan Allah karena sebelumnya lupa dalam melibatkan Allah dalam setiap langkahku. Hingga aku baru saja melibatkan Allah di dalamnya, Allah membayar semuanya lebih dari yang aku harapkan. 

Dan aku semakin percaya bahwa Allah selalu mencintai hambanya. Dan apa yang diberikan Allah selalu membuat hambanya merasa disayangi amat dalam. Berkatmu ya Allah, segala apa yang aku cita-cita kan dapat terwujud.

Eva Setyawanti
Gadis dengan nama sederhananya Eva Setyawanti merupakan mahasiswi jurusan Pendidikan Biologi di salah satu universitas swasta di Jakarta Timur, Universitas Indraprasta PGRI (Unindra). Dengan hobinya yang suka membaca dan menulis puisi menjadikannya mulai menyelam dalam dunia literasi. Puisi menjadi caranya menoreh semua rasanya yang terpahat sempurna lewat kata. Pengalamannya dalam menulis dimulai saat ia duduk di bangku SMA, salah satunya adalah menjadi penulis terbaik dalam antologi puisi Untaian Asa jilid 2 yang diterbitkan oleh Raditeens tahun 2019. Mari merajut persahabatan dengannya melalui instagram