“Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. 

Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insyaa Allah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagaianya.

Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang.

Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun.

Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.”

 

Tulisan tersebut telah dihapus di laman facebook, namun sudah terlanjur tersebar karena pesan yang begitu tidak bijaksana ditulis oleh seorang Akademisi. Seorang Rektor sekaligus pihak yang mewawancarai para peserta program DIKTI itu secara gamblang melontarkan pendapat yang nyeleneh terhadap perempuan yang berkerudung dan bagi para aktivis yang melakukan demo pada kalimat berikut:

’……12 mahasiswi yang diwawancarai tidak ada satupun yang menutup kepala ala manusia gurun, sehingga otaknya benar-benar open minded,”

Sebagai akademisi, tentu saja hal ini mengundang kemarahan bagi masyarakat. Diksi gurun secara langsung dimaksudkan untuk Arab atau sekitarnya hingga konteks ini dianggap rasis. Lalu menutup kepada yang dimaksud adalah jilbab atau kerudung yang dipakai oleh perempuan muslim. Padahal penggunaan jilbab di Indonesia cukup tinggi. Hingga jelas pelecehan yang dilakukannya berdasarkan opini pribadi yang tidak berdasar.

Budi Santosa dilaporkan oleh Irvan Noviandana dengan menulis surat terbuka yang ditujukan kepada Menkeu dan Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto pada Sabtu, 30 April 2022.

Selain itu, banyak tokoh, menteri hingga ulama yang mekritisi tulisan Budi Santosa. Sangat disayangkan tulisan dengan diksi yang bagus itu digunakan untuk melecehkan sebuah Agama. Padahal LPDP merupakan lembaga yang menjunjung tinggi adab dan etika.

Bukan kali ini saja, pada tahun 2019, Budi mengomentari mahasiswi yang menolak berjabat tangan secara langsung dengan Dosen laki-laki. Bukankah itu hak setiap manusia menjalankan dan menggunakan atribut keagamaannya selama tidak mengancam keselamatan orang lain. Apakah Budi merasa terancam dengan penggunaan jilbab oleh muslimah? Atau jangan-jangan, ini adalah akalannya untuk mengadu domba umat dan menimbulkan perpecahan.

Perlulah kita menegaskan bahwa muslimah dapat berprestasi meski berkerudung dan menjalankan tugas ibadahnya. Banyak sekali mahasiswi berjilbab yang berprestasi seperti Dewi Nur Aisyah sebagai juru bicara Satgas Covid-19. Lulusan program Doktor, University College London yang mengenakan jilbab namun tidak menghalangi aktivitasnya untuk berkontribusi pada Negara.

Semoga tidak lagi kita temukan pihak parasit yang terus memecah persatuan dan simbol keagamaan yang sudah resmi kedudukannya di mata Tuhan dan Agama. Mari kita sebagai perempuan tiada hentinya memberikan yang terbaik pada Negeri dan menjunjung nilai toleransi.

 

Penulis: Luluk, S.E

Referensi: Baca Tulisan Rektor ITK Prof Budi Santosa, Terjawab Kalimat di Postingan yang Bikin Viral (msn.com)